Putatgede - Goresan Covid-19 Di Lintasan Hidup Desa Putatgede

Goresan Covid-19 Di Lintasan Hidup Desa Putatgede

Semoga semua makhluq berbahagia
“Jangan membenci siapapun, tak peduli seberapa banyak kesalahan yang mereka lakukan terhadapmu. Hiduplah dengan rendah hati,tak perduli seberapa banyak kekayaanmu. Berfikirlah positif, tak perduli seberapa keras kehidupan yang kamu jalani. Berikanlah banyak,meskipun menerima sedikit. Tetaplah menjalin hubungan dengan orang-orang yang telah melupakanmu, maafkanlah orang yang berbuat salah padamu, dan jangan berhenti mendoakan yang terbaik untuk orang kau sayangi” (Ali bin Abi Thalib)
***
Pelan-pelan kesunyian itu terasa, desa ini seakan mati. Kenthongan usang yang tergelantung disudut ruangan balaidesa tetap utuh tergolek tak mampu berdentang. Suaranya tak lagi terdengar, bunyinya pun tak ada yang merindukan. Kenthongan yang dulu pernah menjadi pertanda kebenaran akan sebuah kejadian memberi kejelasan warta kepada warga tentang kejadian-kejadian (kebanjiran, kebakaran, pencurian, kematian dan lain-lain) kini hanya diam dan terdiam selamanya terkubur peradaban dan digantikan oleh kemayaan.
Tahun Wawu 1953 AJ, Kurup 4. Salasiyah, Windu 3. Sêngara, Pranatamăngsa 1. Kasa, Wuku 2. Landêp, Padangon 7. Tulus, Padewan 2. Bathara Endra, Paringkêlan: 4. Paningron adalah masa sejarah yang kelak akan kita ceriterakan kepada anak cucu kita tentang sebuah wabah yang memecah bangunan sosial jadi benteng-benteng kecil tempat berlindung. Dimana masyarakat tak lagi seperti biasa. Persentuhan berarti penularan, perkerumunan yang membawa kecurigaan dan glimbang-glimbung ning ngomah dianggap pahlawan dan mendapatkan santunan. Semuanya seakan berkabung jadi kesunyian masing-masing. Bahkan sebuah kematian yang merupakan kejadian biasa sebagai kepastian bagi makhluq yang bernyawa pun menjadi perbincangan berbulan-bulan lamanya; mati yang tak hanya berarti meninggal, tetapi ditinggal. Rumah kehilangan arti dalam kekuasaan maut dan rasa kewaspadaan, hidup terasa seperti pengungsian.
Cerita dan reportase yang suram tentang wabah dan kematian menjadi hidangan berita setiap harinya.Di sana-sini manusia membicarakanya; ada yang menawarkan alternatif dan cara bagaimana menemukan jalan untuk berkelit dari jangkauan wabah, ada yang dengan imajinasinya membangun opini massa ada pula yang setengah nekad setengah gentar menyuarakan keberanianya. Semua berkelindan dilini masa kita.
Syahdan….
Cerita wabah itu menjadi sempurna tatkala desa terpencil nan kecil ini mengalami gagal panen karena cuaca dan curah hujan; hampir semua dari 650 rumah di sana menjadi bisu trintim tanpa keceriaan. Memang…... Wabah Covid-19 dan gagal panen ini bukanlah sebuah mala petaka besar, tapi efek yang ditimbulkan sungguh besar dan itu adalah pengalaman yang paling dahsyat tergores dalam lintasan hidup Desa Putatgede. Hari-hari itu adalah hari-hari kebisuan. Setiap keluarga berkumpul, jongkok di teras rumah masing-masing hampir tanpa suara kecuali desah panjang dan kadang….ah sudahlah.
Tetapi Desa Putatgede sampai kapan pun tetap Desa Putatgede. Dia sudah cukup pengalaman dengan kagetiran kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Desa Putatgede hidup dalam kesadarannya sendiri yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali kegagalan-kegagalan dengan kemiskinan langgeng dan dengan kebodohan akan membaca sejarah.
Ketika semua orang merasakan guncangan hebat (efek dari covid-19 dan gagal panen) dan pada hampir seluruh tatanan serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta ketidakpastian demikian mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan hidup berada pada puncak taruhan yang amat menakutkan. Maka adalah fitrah manusia untuk mendapatkan suasana yang teduh, agar jiwa dapat memperoleh lembah ketenangan. Dan tak usah dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti ini orang-orang ingin segera memperoleh kepastian bahwa desa tempat dia menyerahkan kesetiaan dasarnya tidak rusak. Desa ini ibarat orang tua yang selalu bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa berupa ucapan dan doa yang menenangkan, bisa berupa mantra atau jamu yang menyembuhkan dan atau gabungan dari kesemuanya yang secara bersama-sama laksana sumber air yang memancar abadi yang pada hari Rabu (7) Pahing(9),23 Dulkangidah kita tempati untuk mengucapkan rasa syukur atas segala yang kita terima dan doa pengharapan bagi kebahagiaan semua makhluq yang hidup diatasnya. Sehingga kita menjadi orang-orang yang mempunyai kesadaran tentang makna sebuah keberadaan.


Dipost : 15 Juli 2022 | Dilihat : 650

Share :

s