Pengambilan keputusan atas hasil penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Desa, ditunda karena Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat masih harus memformulasikan seluruh usulan anggota dewan. Di sisi lain, sebagian anggota dewan meminta agar penyusunan revisi UU Desa tersebut, tidak terburu-buru. Jika ada kesalahan prosedur, dikhawatirkan kelak akan digugat di Mahkamah Konstitusi. Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU Desa Baleg DPR kembali menggelar rapat panja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/6/2023) siang. Rencana semula, pada malam harinya akan langsung digelar rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU Desa tersebut. Namun, masih terdapat banyak usulan dari anggota yang belum diakomodasi sehingga rapat pleno tersebut ditunda. Berbagai usulan yang belum diakomodasi itu, seperti penambahan gaji kepala desa, pemberian anggaran rumah tangga kepada kepala desa; penyerahan kewenangan kepada kepala desa untuk secara mandiri mengelola dana desa; pemberian perlindungan hukum kepada kepala desa apabila terjerat masalah hukum; pengangkatan dan pemberhentian pengangkat desa oleh bupati atas usulan kepala desa; dan pengarutan atau limitasi penggunaan alokasi dana desa. Rumusan RUU Desa mulai dibahas di Baleg sejak Senin (19/6/2023). Dalam satu pekan kemarin, Baleg setidaknya dua kali menggelar rapat untuk membahas RUU Desa. Beberapa hal yang sudah disepakati, di antaranya memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun; memberikan tunjangan purnatugas kepada kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa; serta menaikkan alokasi dana desa dari 10 persen menjadi 15 persen. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Syahrul Aidi Mazaat menyampaikan, kepala desa kerap menerima tamu dari masyarakatnya. Sering kali, jumlahnya sangat banyak dan kepala desa harus siap sedia selama 24 jam. Untuk itu, fraksinya mengusulkan agar kepala desa memiliki anggaran rumah tangga. ”Besarannya bisa kita diskusikan. Ini kalau kita betul-betul mengakui kepala desa ini adalah pemerintahan terkecil di negara kita, menjadi ujung tombak dari pelaksanaan pemerintah,” kata Syahrul. Ia juga menyinggung soal gaji kepala desa dan perangkat desa yang saat ini dianggap masih kecil. Menurut dia, gaji kepala desa perlu dinaikkan minimal menjadi Rp 3,5 juta. Kemudian, harus dipastikan pula gaji itu diterima setiap bulan di awal bulan oleh mereka. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah sepakat dengan Syahrul. Selain dana operasional pemerintah desa, perlu diatur pula dalam RUU Desa soal hak dana operasional kepada kepala desa. Namun, dana itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. ”Banyak kepala desa mengeluh, banyak beban sosial yahg ditanggung, seperti ikut jagongan atau gawe (hajatan) warganya, tidak cukup dengan gaji mereka. Kalau ditambah gaji menjadi Rp 3,5 juta, itu juga tidak nutup dengan pengeluaran mereka,” ucap Luluk. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar Firman Subagyo pun mengusulkan agar para kepala desa diberikan hak kemandirian dalam mengelola dana desa. Menurut dia, pemberian kewenangan ini sudah sesuai dengan prinsip UU Desa di mana memberikan kepercayaan dan kewenangan kepada kepala desa. “Jangan kepala desa selalu dicurigai. Tetapi, harus diberikan kewenangan sehingga kepala desa bisa berinovasi membangun wilayah sesuai kebutuhan desa masing-masing. Kalau ada kecurigaaan kepada kepala desa untuk menggunakan dana tidak pada tujuannya, ya kita atur di situ, jangan dipakai studi banding, dan lain-lain. Tetapi, ketika itu dipakai untuk membangun desa dan bawa manfaat, kita serahkan ke kepala desa,” tutur Firman. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Johan Budi menambahkan, kepala desa juga harus transparan dalam menggunakan dana desa. Caranya, setiap pendapatan dan pengeluaran bisa dipaparkan di balai desa. Dengan demikian, masyarakat desa bisa ikut mengawasi. Melihat masih ada kepala desa yang buta huruf, Johan Budi juga mengusulkan agar kepala desa mendapatkan perlindungan hukum. Konkretiasasi perlindungan hukum bisa diatur lebih rigid dalam RUU Desa. ”Kalau tidak diatur, nanti bisa jadi urusan hukum, kasihan kepala desanya nanti karena dianggap tidak bisa melaporkan anggaran desa. Jadi, kita tidak mendengar lagi kepala desa yang kena hukum,” kata Johan Budi. Sementara itu, Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Desy Ratnasari, mengusulkan agar ada catatan soal prioritas perencanaan dan penggunaan dana desa, misalnya untuk pendidikan, pengembangan badan usaha milik desa, pengentasan warga dari kemiskinan, hingga penciptaan lapangan kerja baru. ”Jadi, jangan dilepas juga dan tidak ada limitasi atau terserah kepada kepala desa secara mandiri. Kita tetap kasih pointers, apa yang menjadi hal-hal krusial yang perlu diprioritaskan. Itu harus ditunjukkan. Jangan sampai nanti salah diinterpretasikan oleh mereka,” kata Desy. Melihat masih banyaknya usulan dari anggota, menurut Desy, sangat tidak bijak jika Baleg DPR memang menggelar rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU Desa pada Senin malam ini. Pengambilan keputusan tidak bisa dipaksakan karena anggota dewan juga harus melapor kepada pimpinan fraksinya terkait masukan-masukan dari fraksi lain, untuk kemudian mencari titik temu. ”Jadi, ojo kesusu(jangan terburu-buru) kalau memang tidak memungkinkan malam hari ini untuk pengambilan keputusan. Ya, sudah kita cermati bersama, apa dirangkum masukan-masukan dari fraksi. Nah, apa yang irisannya sama dan apa yang irisannya berbeda, ini harus diwujudkan dalam sebuah klausul atau kalimat yang memang nyata apa pilihan-pilihannya kemudian mendapatkan persetujuan dari semua fraksi,” kata Desy. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar, Supriansa, sependapat dengan Desy. Menurut dia, banyak sekali perubahan substansi dari UU Desa. Semua itu harus dibahas bersama tim perumus dan tim sinkronsiasi. Jangan sampai, lanjutnya, RUU ini ketika sudah disahkan nanti justru digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). ”Jadi, kalau kita melepas ini barang (RUU) masuk di paripurna, lalu diketok, lalu disetujui, saya khawatir ada gugatan masuk di MK bahwa tidak melalui prosedur. Ini yang saya khawatirkan,” tutur Supriansa. Anggaran rumah tangga
Perlindungan hukum
Terlalu terburu-buru
Dipost : 01 Juli 2023 | Dilihat : 2173
Share :